Blogger Cursor by Tutorial Blogspot

Welcome to my Blog

Sabtu, 30 November 2013

Rupiah Menguat, BI Klaim Jaga Likuiditas Pasar

Kabar baik dari penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pagi ini (6/12/2013) tak terlepas dari intervensi Bank Indonesia (BI). Bank sentral mengklaim, pihaknya berupaya selalu ada di pasar untuk menjaga likuiditas nilai tukar rupiah.
Gubernur BI, Agus Martowardojo mengungkapkan, pihaknya terus mengamati pergerakan pasar keuangan sampai saat ini, terutama volatilitas rupiah.
"Selama tiga bulan ini kami menjaga likuiditas apabila diperlukan. Tapi kalau melihat nilai transaksi harian mengalami penurunan," terang dia usai Rakor Inflasi di kantornya, Jakarta, Jumat (6/12/2013).
BI, kata Agus, mengimbau supaya para pemilik dana maupun eksportir secara normal melepas dananya supaya persediaan dan permintaan seimbang karena banjir permintaan dolar AS di akhir tahun.
Dia mengingatkan, agar pembeli dana tidak menggunakan dolar-nya untuk melakukan impor barang-barang mubazir alias tidak diperlukan saat-saat ini.
Serta merekomendasikan pemilik dana melakukan pembelian kembali (forward buy) dan lindung nilai (hedging) sehingga tidak melambungkan permintaan dolar AS.
"Kalau BI diperlukan kami akan turun sebab kami mengupayakan penawaran SWAP, valas dan sedang aktif menyesuaikan mini master repo agreement demi menjaga likuiditas nilai tukar rupiah. Yang terjadi karena ada tekanan persaingan di akhir tahun dan awal 2014 yang harus disikapi waspada supaya pasar tidak panik," ujarnya.
Namun lebih jauh Agus menambahkan, BI melihat dua faktor pelemahan rupiah hingga sempat menembus Rp 12 ribu per dolar AS. Faktor eksternal, yakni terbitnya indikator ekonomi AS yang menunjukkan perbaikan.
Malam ini pun rencananya Bank Sentral AS akan mengumumkan indeks perbaikan ekonomi negara Adidaya itu, terkait realisasi pengangguran yang lebih baik. Jadi dengan kondisi ini membuat berpikir tapering off mungin tidak akan dilaksanakan dalam waktu segera dan mengurangi tekanan pada nilai tukar rupiah," terangnya.
Tekanan lain, tambah Agus, datang dari permintaan valas yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan akhir. Sedangkan faktor internal, meliputi kinerja defisit transaksi berjalan yang mulai membaik, serta mengendalikan inflasi.
"Ini pengaruh dari eksternal dan banyak permintaan dolar memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah. Jadi pelemahan rupiah bersifat sementara," tukas Agus.
Sekadar informasi, nilai tukar menguat 57 poin menjadi Rp11.905 dibanding posisi sebelumnya Kamis (5/12/2013) sebesar Rp 11.962 per dolar AS. (Fik/Ahm)

Jumat, 29 November 2013

Cadangan Devisa RI Tergerus US$ 36 juta

Meski telah banyak melakukan intervensi pasar guna mencegah pelemahan rupiah, Bank Indonesia (BI) melaporkan kondisi cadangan devisa (Cadev) pada akhir November dalam posisi stabil. Posisi Cadev terakhir berada di level US$ 96,96 miliar.
Dibandingkan posisi sebelumnya, Cadev Indonesia terlihat hanya turun tipis US$ 36 juta dari posisi akhir Oktober di level US$ 96,99 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi A Johansyah dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/12/2013) mengatakan posisi Cadev tersebut setara dengan 5,5 bulan impot atau setara dengan 5,3 bulan impot dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
"BI menilai ijumlah cadangan tersebut cukup aman untuk mendukung ketahanan sektor eksternal dan berada di atas standar kecukupan internasional," ujar Difi/
BI menyatakan stabilnya jumlah cadangan devisa tersebut tidak terlepas dari respon kebijakan BI untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Sekaligus menjaga stabilitas nilai rupiah sesuai dengan kondisi fundamentalnya.
Sepanjang November 2013, BI melaporkan telah melakukan operasi pasar terbuka (OPT) dengan anggaran senilai Rp 187,98 triliun. Anggaran tersebut meningkat dari sebelumnya sebesar Rp 163,45 triliun.(Shd)

Kamis, 28 November 2013

Presiden Baru Terpilih, Rupiah Menguat

Nilai tukar rupiah terus berada pada tren melemah sepanjang tahun ini. Meski demikian, Bank Indonesia (BI) cukup yakin rupiah bisa kembali menguat setelah pesta akbar pemilihan presiden digelar tahun depan.
"Setiap menjelang pemilu atau setelah pemilu, nilai tukar kita (rupiah) akan menguat. Setelah pemimpin baru, rupiah biasanya akan mengalami perbaikan nilai tukar," ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Difi Johansyah saat ditemui dalam acara pelatihan wartawan ekonomi dan perbankan mengenai pendalaman seputar nilai tukar di Hotel Trans Studio, Bandung, Sabtu (7/12/2013).
Selain itu, Difi juga menjelaskan sejumlah faktor internal dan eksternal yang menekan nilai tukar rupiah perlahan mulai teratasi. Sebut saja, tingkat inflasi yang sempat meningkat tajam tahun ini akibat kenaikan harga sejumlah barang seperti yang terjadi di sektor komoditas.
Meski begitu, BI memprediksi harga-harga barang di pasaran akan kembali stabil. Kondisi tersebut dapat membuat tingkat inflasi merosot hingga mencapai target 4,5% pada 2014.
"Mulai tahun depan inflasi akan terus mengalami penurunan hingga diperkirakan mencapai 4,5%," ujarnya.
Faktor internal lain yang menyebabkan pelemahan rupiah adalah defisit transaksi berjalan. Tetapi kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga acuannya serta merevisi sebagian aturan impor pemerintah telah menurunkan volume impor di Tanah Air.
Sementara itu, pasar sudah mulai jenuh menghadapi isu kebijakan penarikan dana stimulus Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang tak kunjung usai. Seiring memudarnya kekhawatiran para investor dan pelaku pasar, sentimen pelemahan rupiah pun mulai berkurang. Dengan begitum rupiah dapat berangsur pulih dari keterpurukannya.
"Seterusnya untuk isu tapering off itu sudah tidak ada lagi, market sudah price in dengan isu ini. Sehingga tidak ada alasan lagi rupiah melemah," tandas Difi.
Sementara menjawab pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini hingga sempat menembus level 12 ribu per dolar AS, Difi menyatakan hal tersebut sangat wajar terjadi menjelang akhir tahun, mengingat beberapa perusahaan perlu membayar utang dan memerlukan dolar dalam jumlah besar. (Dis/Ndw)

Rabu, 27 November 2013

Kurs Tengah BI Melemah, Rupiah Nyaris Sentuh 12 Ribu/US$

 Kurs rupiah sedikit melemah meski masih mampu bertahan di bawah level 12 ribu per dolar Amerika Serikat (AS). Kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukan rupiah kini bertengger di level 11.985 per dolar AS.
Mengutip laporan BI, Selasa (10/12/2013), kurs tengah BI melemah sekitar 29 poin dari penutupan srehari sebelumnya di posisi 11.956 per dolar AS.
Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta dalam riset hariannya mengatakan rupiah yang belum juga beranjak dari kisaran 11,960 menjaga ruang penguatan yang sangat terbatas.
"Bank Indonesia akan melakukan pertemuan bulanan yang menentukan suku bunga kebijakan pada tengah minggu ini," kata Rangga.
Samuel mencatat, indeks Nikkei 225 dan juga KOSPI pada pembukaan pagi ini sama-sama melemah. IHSG yang kemarin menguat 0,8% berpeluang untuk tidak melanjukan penguatannya melihat juga kurs rupiah non delivered forward (NDF) 1 bulan yang dibuka melemah pagi hari ini.
Sementara itu, data kurs Valas Bloomberg mencata rupiah bergerak fluktuatif sejak pembukaan perdagangan. Rupiah sempat dibuka menguat ke level 11.968 dari penutupan sebelumnya 11.974 per dolar AS.
Rupiah sempat menguat ke level tertinggi di posisi 11.950 per dolar AS setelah sempat hampir menyentuh level 12 ribu atau di level 11.995 per dolar AS. (Shd)

Selasa, 26 November 2013

Pelaku Pasar: Cukup! Jangan Naikkan Lagi BI Rate

Bank Indonesia bakal kembali menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) terakhir untuk tahun 2013 pada Kamis 12 Desember esok. Dengan kejutan-kejutan yang dibuat bank sentral selama ini, pasar kini kesulitan memprediksi keputusan apa yang akan diputuskan BI.
"Kejadian sudah terjadi di rapat dewan gubernur November, bahwa kita tidak tahu apa yg akan dicapai pada keputusan berikutnya," ujar Research Analyst PT Buana Capital, Alfred Nainggolan dalam perbincangan dengan Liputan6.com, Rabu (11/12/2013).
Alfred menilai, dengan data-data ekonomi terbaru yang dikeluarkasn pemerintah, seharusnya BI tak perlu lagi menaikkan suku bunga acuan BI rate. Sebagai informasi, BI terakhir kali menaikkan suku bunga acua BI rate 25 basis poin pada November 2013. saat ini BI rate berada di level 7,5%.
Sementara Badan pusat Statistik (BPS) mencatat kondisi perekonomian nasional saat ini relatif lebih stabil. Hal ini terindikasi dari laju inflasi yang relatif rendah dalam dua bulan terakhir.
Indonesia juga mulai mencetak surplus perdagangan pada Oktober 2013 dengan nilai US$ 42 juta.
"Sebenernya kalau kita lihat dengan angka inflasi 0,12% di bulan November, BI sepertinya tidak perlu lagi menaikkan suku bunga," tegas Alfred.
Dia menilai bank sentral saat ini seharusnya berharap pemerintah memberikan upaya maksimalnya dalam menekan defisit transaksi berjalan (current account) yang telah berimbas pada kurs rupiah. (Shd/Igw)

Senin, 25 November 2013

Faktor-faktor yang Bisa Bikin BI Rate Naik atau Tetap

Bank Indonesia (BI) akan melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis 12 Desember 2013. Ada alasan yang bisa membuat BI Rate naik atau justru bertahan. Faktor apa saja?
Ada perkiraan suku bunga acuan atau BI Rate kemungkinan dipertahankan di level 7,5% pada akhir 2013. Hal itu seiring data makro ekonomi yang membaik mulai dari inflasi dan surplus perdagangan. Meski demikian sentimen eksternal yaitu pengurangan stimulus moneter Amerika Serikat (AS) masih menghantui ekonomi global dan domestik.
Ekonom David Sumual memperkirakan, BI akan mempertahankan suku bunga acuan melihat data makro ekonomi positif mulai dari surplus perdagangan US$ 42 juta pada Oktober 2013 dan inflasi November 2013 sebesar 0,12%. Karena kemungkinan inflasi akan di bawah 9% dari target inflasi BI dan pemerintah pada 2013.
"Kalau melihat data dalam negeri kemungkinan BI Rate akan dipertahankan," ujar David, saat dihubungiLiputan6.com, Rabu (11/12/2013).
Meski demikian, David melihat, sentimen eksternal yaitu langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk mengurangi program stimulus moneternya (tapering) akan menjadi perhatian BI. Apalagi melihat data ekonomi AS membaik.
Menurut David, saat ini ketidakpastian masih tinggi. Oleh karena itu, David melihat ada kemungkinan BI akan menaikkan BI Rate sekitar 25 basis poin (bps).
"BI Rate 8%-9% masih oke karena kalau lewat dari itu pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat," kata David.
Hal senada dikatakan, Ekonom PT Mandiri Sekuritas, Aldian Taloputra. Menurut Aldian, BI Rate akan tetap di kisaran 7,5%. Hal itu didukung dari data ekonomi makro membaik jelang akhir tahun.
"Menurut view kami BI Rate akan tetap. Angka inflasi relatif membaik jadi menurut kami BI akan melihat itu," kata Aldian.
Aldian menambahkan, saat ini memang belum banyak peluru untuk mengatasi defisit neraca perdagangan dan transaksi perdagangan. Oleh karena itu BI menaikkan suku bunga acuannya sejak Juni 2013 untuk menjaga defisit transaksi berjalan.
Alasan yang bisa bikin BI Rate Naik
Sementara itu, Ekonom PT Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih mengatakan, BI ada kemungkinan menaikkan suku bunga acuan sekitar 25 bps. Kenaikan BI Rate itu juga diharapkan dapat menjaga transaksi berjalan.
Sebelumnya defisit transaksi berjalan susut menjadi US$ 8,4 miliar atau 3,8% dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal III 2013.
Adapun faktor yang membuat BI akan menaikkan BI Rate antara lain, Pertama, kredit perbankan masih cukup tinggi sekitar 23% hingga September 2013. Harapan BI, kredit dapat tumbuh sekitar 20% pada 2013.
Kedua, meski terjadi surplus pada Oktober 2013. Akan tetapi impor masih cukup tinggi. Ketiga, isutapering.
"BI akan mencoba mengantisipasi ketidakpsatian yang masih tinggi. BI akan menaikkan BI Rate sekitar 25 bps. Antisipasti ketidakpastian yang tinggi ini agar ke depan situasi dapat dikontrol," kata Lana.
Target BI Rate Tahun Depan
Kedua ekonom ini pun sepakat, BI ada kemungkinan menaikkan suku bunga acuan sekitar 25-50 bps pada tahun depan. David melihat, ketidakpastian ekonomi masih berlanjut pada 2014.
Apalagi Indonesia akan kehilangan US$ 6 miliar dari ekspor mineral yang diberhentikan sehingga menekan neraca perdagangan. Ditambah pengurangan stimulus moneter AS pada tahun depan.
"Indonesia akan sedikit tertekan dengan neraca perdagangan pada tahun depan apalagi ekspor mineral cukup besar dihentikan. Kemungkinan defisit sekitar 3% pada 2014," ujar David.
David memproyeksikan, BI kemungkinan menaikkan suku bunga acuan sekitar 25 bps-50 bps pada kuartal I 2014. Aldian juga memproyeksikan, BI akan menaikkan suku bunga acuannya 25 bps-50 bps pada 2014. (Ahm/Igw)

Minggu, 24 November 2013

Perbankan Indonesia Kini Leluasa Berbisnis di Jepang

Industri perbankan nasional dan Jepang kini berada di level setara. Hal ini terwujud setelah adanya kerjasama pertukaran informasi pengawasan bank dan kesetaraan akses pasar perbankan antara Bank Indonesia dan otoritas moneter Jepang, Japan Financial Service Authority (JFSA).
Dikutip dari keterangan tertulis BI, Selasa (3/12/2013), kerjasama pertukaran informasi home-host supervision dan kesetaraan akses pasar perbankan itu terealisasi pada 29 November 2013.
Bertindak selaku perwakilan BI adalah Mulya E. Siregar, Asisten Gubernur Bank Indonesia, dan Tokio Morita, Deputy Commissioner for International Affairs JFSA dalam bentuk dokumen Exchange Letter of Understanding.
Dengan kesepakatan tersebut, BI dan JFSA bakal memiliki akses pasar perbankan untuk bank-bank asal Jepang dan Indonesia yang telah maupun akan beroperasi di kedua negara.
"Kerjasama ini juga merupakan implementasi asas resiprokal, dimana diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi perbankan Indonesia untuk membuka jaringan kantor dan aktivitas bisnis di Jepang," ujar Mulya.
Lebih jauh Mulya berharap kerjasama ini bisa memperkuat koordinasi dan kerjasama diantara kedua otoritas guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas sistem keuangan kedua negara.(Shd)

Sabtu, 23 November 2013

BI Sengaja Buat Rupiah Loyo

 Pergerakan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia (BI) untuk mengatasi defisit. Dengan rupiah melemah membuat biaya impor menjadi lebih besar.
Kurs melemah juga bagian dari solusi, karena dengan kurs melemah, impor menjadi lebih mahal, terutama untuk impor-impor yang tidak produktif. Dengan melemahnya kurs menurut kami sudah menunjukkan hasil dalam bentuk surplusnya trade balance," ujar Deputi Gubernur BI, Mirza Adityaswara di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (3/12/2013).
Pelemahan rupiah sekitar 20% dari akhir tahun 2012. Saat itu, posisi Rp 9.600 per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi di kisaran Rp 11.000-Rp 11.500 per dolar AS.
Mirza menambahkan, kurs melemah memberikan hasil berupa surplusnya neraca perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan terjadi surplus sebesar US$ 42,4 juta pada Oktober 2013.
Selain itu kenaikan BI rate/ suku bunga acuan yang telah dilakukan Dewan Gubernur BI sebesar 25 basis poin menjadi 7,5% merupakan langkah yang sudah dipertimbangkan dengan matang. Mirza juga membantah kenaikan dilakukan bukan untuk melemahkan rupiah.
"Menaikkan bunga secara terukur, jadi tidak mungkin kita menaikkan tanpa memikirkan bagaimana dampaknya," kata Mirza.
Sementara itu, Mirza juga menjelaskan pelemahan rupiah yang terjadi selama ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu permintaan akan valas yang meningkat dan masih banyaknya eksportir yang menahan dolarnya.
"Yang menurut kami sebaiknya eksportir sudah bisa mulai menjual, rupiah di 11.000-11.500 itu sudah pas, karena terbukti dari neraca perdagangan surplus," tutupnya. (Yas/Ahm)

Jumat, 22 November 2013

Meski Intervensi, BI Klaim Cadangan Devisa Sehat

Untuk mengatasi pelemahan rupiah yang sempat menembus ke level 12.000 per dolar Amerika Serikat membuat Bank Indonesia (BI) kembali melakukan intervensi ke pasar.
Intervensi itu dilakukan mengingat kebutuhan likuiditas valas di pasar keuangan sangat kurang. Lalu apakah cadangan devisa Indonesia kembali akan berkurang?
Deputi Gubernur BI, Mirza Adityaswara mengakui, BI telah melakukan intervensi ke pasar. Namun dipastikan cadangan devisa masih akan mampu menjaga impor Indonesia selama 5 bulan ke depan.
"BI sudah di pasar, karena belum banyak yang menjual, jadi BI yang di pasar. Yang pasti angkanya (cadev) masih sehat, masih bisa mengcover 5 bulan impor," ungkapnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (3/12/2013).
Mirza menambahkan, kebutuhan akan valuta asing di pasar keuangan masih sangat minim yaitu hanya sekitar US$ 500 juta. Padahal kebutuhan akan ekspor jauh di atas itu.
Hal itu diungkapkan mantan Kepala Lembaga Penjamin Sosial (LPS) dikarenakan minimnya para eksportir yang tidak menjual dolarnya padahal Badan Pusat Statistik (BPS)mencatat nilai ekspor sendiri mengalami peningkatan.
"Kita ini negara ekspor US$ 15 miliar, impor katakan sama, pasar valas hanya sekitar US$ 500 juta per hari, kan terlalu kecil. Artinya apa, yang punya dolar terutama eksportir tidak bersedia menjual padahal kursnya sudah pas," kata dia.
Dari data terakhir, cadangan devisa Indonesia pada akhir Oktober 2013 kembali bertambah. Bank Indonesia melaporkan cadangan devisa bertambah US$ 1,32 miliar menjadi US$ 96,99 miliar.
Dikutip dari situs BI, cadangan devisa pada akhir Oktober tersebut lebih tinggi dari posisi akhir September yang berada di level US$ 95,67 miliar. (Yas/Ahm)

Rabu, 20 November 2013

BI: Rupiah 11.000-11.500 per US$ Sudah Pas

Banyaknya eksportir yang memarkir dolar Amerika Serikat (AS) diluar negeri dituding menjadi salah satu pemicu pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan terakhir. Rupiah makin melemah seiring tingginya permintaan valuta asing (Valas) di dalam negeri.
Deputy Gubernur Bank Indonesia, Mirza Adityaswara memgimbau para eksportir seharusnya sudah mulai menjual kembali dolar AS yang dimilikinya saat ini.
"Rupiah di 11.000-11.500 itu sudah pas, karena terbukti dari neraca perdagangan surplus," ungkap Mirza saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (3/12/2013).
Mirza mengungkapkan jika pelemahan rupiah terus terjadi di tengah kondisi neraca transaksi pembayaran yang mulai menunjukkan surplus, hal itu akan berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
Untuk itu, BI mengimbau para eksportir untuk melepas kepemilikan dolar AS selagi nilai tukar rupiah masih diatas angka yang pas. Bank sentral juga mengingatkan eksportir kemungkinan adanya intervensi BI terhadap kurs rupiah.
"Memang saat kurs 9.500 current account kita surplus, 11.000-11.500 itu pas, di atas itu oversold. Karenademand impor ada terus," tegas Mirza.
Ditambahkannya, BI masih optimistis laju nilai tukar rupiah masih akan membaik di akhir bulan kendati tren pelemahan rupiah terus terjadi. Terlebih lagi rasio defisit neraca transaksi berjalan (current account) terhadap PDB masih di bawah 4%.
"Yang jelas, neraca perdagangannya sudah menunjukkan hasil yang seperti diharapkan, sudah surplus. Artinya defisit current account di kuartal I kita 4,4% dari PDB, kuartal II 3,8% kuartal II antara 3,4%-3,5% PDB," kata Mirza.
Pada perdagangan hari ini, rupiah kembali melemah setelah sempat menguat 1,6% akibat surplus neraca perdagangan Oktober sebesar US$ 42,4 juta.
Kurs rupiah di pasar lokal pagi ini tercatat melemah 0,6% ke level 11.840 per dolar AS. Sementara rupiah di pasar luar negeri juga melemah 0,5% ke level 11.855, atau diperdagangkan 0,1% lebih rendah dari harga spot.(Yas/Shd)

Selasa, 19 November 2013

Gaji Pegawai BI Tahun Depan Naik 7%

Komisi XI DPR menyetujui kenaikan gaji pegawai Bank Indonesia sebesar 7% pada 2014. Namun kenaikan gaji tersebut takkan dinikmati Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Ketua Komisi XI DPR, Olly Dodokambey mengatakan DPR telah menyetujui penyesuaian biaya hidup (Cost Of Living Adjustment-COLA) pegawai bank sentral di seluruh level sebesar 7%.
"Menyetujui pencapaian target kinerja Pegawai Bank Indonesia pada seluruh level rata-rata sebesar 7% setelah memperhitungkan COLA," kata Olly,dalam Rapat Kerja Anggaran Tahunan Bank Indonesia 2014, di gedung DPR Jakarta, Selasa (3/11/2013).
DPR beralasan kenaikan gaji pegawai BI itu dilakukan untuk menyetarakan penghasilan pegawai lembaga keuangan sejenis seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpana (LPS). Kenaikan juga untuk menjaga disparitas masing-masing level pegawai Bank Indonesia.
"Penyesuaian ini juga mencakup penyertaan penghargaan bagi pihak ke tiga," tuturnya.
Namun, tegas Olly, komisi XI memutuskan takkan menaikkan gaji para Dewan Gubernur BI. Keputusan ini sesuai dengan usulan Panitia Kerja Penerimaan operasional dan Pengelolaan Sumber Daya Manusia Anggaran Tahunan Bank Indonesia Tahun 2014.
"Komisi XI DPR RU menyetujui untuk tidak memberikan penyesuaian COLA sebesar 7% dan tidak memberikan insentif kinerja kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia," ungkapnya.
Menanggapi kesimpulan Komisi XI tersebut, Gubernur BI Agus Martowadojdo menilai keputusan itu merupakan hal yang sudah umum.
"Tentu kami harus dari waktu ke waktu melakukan pengawasan atau kalibrasi. Kami mesti melakukan evaluasi bagaimana struktur gaji dari lembaga seperti OJK, KPK, dan juga misalnya BI itu yang dilakukan," pungkasnya.(Yas/Shd)

Senin, 18 November 2013

Dolar Tembus Rp 12 Ribu, Hatta: Tenang Ada BI di Pasar

Kembali runtuhnya rupiah ke level psikologis 12 ribu per dolar Amerika Serikat (AS) ditanggapi tenang pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menilai tak ada hal yang perlu dicemaskan dengan pelemahan rupiah karena kenaikan awal pekan lalu terjadi karena adanya pengumuman surplus neraca perdagangan.
Tenang, BI (Bank Indonesia) ada di pasar," imbau Hatta saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (4/12/2013).
Hatta yakin, bank sentral takkan tinggal diam melihat kondisi nilai tukar rupiah yang sudah terpuruk sejak pertengahan tahun ini. Pelemahan kurs rupiah selama ini terjadi akibat rencana penarikan program stimulus The Federal Reserves dan defisit neraca transaksi berjalan.
Diakui Hatta, permintaan dolar AS dalam beberapa hari terakhir memang mengalami peningkatan. Sementara pasokan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diakui belum mencukupi.
"Misalnya Pertamina yang menarik kebutuhan dolar cukup tinggi di pasaran," papar dia.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada sore ini ditutup di level Rp 11.986 per dolar AS atau melemah 98 poin dari penutupan Selasa (3/12/2013) di level Rp 11.888 per dolar AS.
Sedangkan posisi rupiah berdasar kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar AS (Jisdor) BI hari ini di level Rp 11.960 per dolar AS, terdepresiasi 130 poin dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp 11.830 per dolar AS.
Managing Director Head of Global Markets HSBC, Ali Setiawan memproyeksikan nilai tukar rupiah sampai dengan akhir tahun ini akan menyentuh level Rp 11.500-Rp 12 ribu per dolar AS.
"Penyebabnya karena kebutuhan dolar untuk membayar utang dan repatriasi dividen ke luar negeri sangat besar, tapi suplai sedikit. Sehingga pasar tak likuid dan berimbas ke pasar valuta asing (valas)," ucap dia.(Fik/Shd)

Minggu, 17 November 2013

Perbankan Sambut Positif Pengetatan Penyertaan Modal Bank

 Kalangan perbankan menyambut positif mengenai kebijakan pengetatan Bank Indonesia (BI) mengenai penyertaan modal bagi industri perbankan guna meningkatkan prinsip kehati-hatian.
Kebijakan itu diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 15/11/PBI/2013. Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono menegaskan, kebijakan baru BI tersebut justru berdampak positif bagi industri perbankan.
"Peraturannya kan mengatakan sebelum 5 tahun tidak boleh di divestasi kan, artinya kalau memang bank ini melakukan ekspansi di jasa keuangan lain selain jasa keuangan perbankan, itu justru menguntungkan, karena itu akan jangka panjang," ungkapnya di Jakarta seperti yang ditulis, Kamis (5/12/2013).
Sementara poin lain yang termasuk dalam PBI tersebut adalah mengenai divestasi dapat dilakukan minimal 50% dari saham yang dimiliki perusahaan.
Sigit menambahkan, secara inti perbankan turut mendukung apa yang sudah diputuskan bank sentral dan perbankan siap mematuhi dan menjalankan sesuai semestinya.
"Kategorinya sekurang-kurangnya ini akan positif bagi bank yang melakukan ekspansi usahanya misalnya di finance company, leasing, perusahaan bidang pasar modal, ataupun perusahaan bidang asuransi," ujar Sigit.
Selain itu dalam PBI juga menyatakan, bank dapat melakukan penyertaan modal terhadap anak usaha dengan jumlah seluruh portofolio penyertaan modal ditetapkan paling tinggi sesuai aturan Bank Umum Kelompok usaha (BUKU) II .
Misalnya untuk bank dengan modal inti antara Rp1 triliun dan Rp5 triliun hanya boleh memiliki melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia.
Aturan anyar yang ditandatangani oleh Gubernur BI Agus Martowardojo ini diterbitkan dan mulai berlaku sejak 22 November 2013. (Yas/Ahm)

Sabtu, 16 November 2013

BI Perketat Penyertaan Modal Bank ke Luar Negeri

Bank Indonesia (BI) kini melakukan pembatasan terhadap lembaga perbankan yang ingin melakukan penyertaan modalnya keluar negeri. Hal tersebut sejalan dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 11/11/PBI/2013 tentang prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal.
Direktur Kepala Grup Departemen Penelitian dan Pengaturan Bank Umum BI Trisnawati Gani mengatakan dalam PBI yang baru ini penyertaan modal ke luar negeri hanya boleh dilakukan ole bank dengan modal Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4. Pada PBI sebelumnya ketentuan penyertaan modal ke luar negeri ini tidak diatur secara khusus.
"Sesuai dengan pengelompokan umum berdasarkan BUKU, hanya BUKU 3 dan BUKU 4 yang diperbolehkan," ujarnya di Gedung BI Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2013).
Lebih lanjut, Trisnawati menjelaskan hal ini dilakukan karena selama ini banyak asing yang dengan mudah masuk ke Indonesia dan sebaliknya bank asal Indonesia sendiri mengalami kesulitan saat melakukan ekspansi keluar negeri.
Meskipun demikian, menurutnya kesulitan bank asal Indonesia untuk menembus luar negeri tidak serta merta merupakan kesalahan dari regulasi yang diterapkan di luar negeri. Menurutnya hal ini justru karena bank-bank asal Indonesia ini kurang kuat sehingga tidak mampu bersaing dengan bank-bank di luar negeri.

Atas dasar itulah pada PBI yang baru ini mengatur agar bank-bank berskala kecil atau bermodal kecil tidak diperkenankan melakukan penyertaan modal ke luar negeri. "Setiap penyertaan modal harus memperoleh persetujuan dari BI dengan mewajibkan bank menerapkan manajemen risiko dan memantau seluruh portofolio penyertaan modan," jelasnya.
Dia juga mengatakan, jika sebuah bank mempunyai rencana untuk melakukan ekspansi di luar negeri, maka harus terlebih dulu masuk ke BUKU 3 sehingga bank tersebut bisa bersaing dengan bank lain pada negara tujuan. (Dny/Igw)

Jumat, 15 November 2013

Rupiah Masih Loyo, Mungkinkah Jebol 13 Ribu/US$?

 Bank Indonesia (BI) menepis perkiraan analis maupun pengamat yang memproyeksikan nilai tukar rupiah akan menyentuh level 13 ribu per dolar AS sampai akhir tahun ini. bank sentral menjamin rupiah akan berada di level aman bahkan hingga 2014, saat Bank Sentral AS memulai penarikan likuiditas (tapering off).
Head of Economic Research Group, Economic and Monetary Policy Department BI, Solikin M Juhro memproyeksikan nilai tukar rupiah tidak akan bertengger di level Rp 13 ribu per dolar AS.
"Tidak akan sampai. Memang awal-awal tahun ada penyesuaian, tapi nanti akan kembali ke siklusnya. Nilai tukar rupiah masih oke-oke saja," ujar dia usai menjadi pembicara di International Seminar di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (5/12/2013).
Solikin menambahkan, Indonesia mendapat hantaman pasar keuangan pada Mei-Juni 2013 saat Gubernur The Federal Reserve, Bernanke mengumumkan rencana pengurangan stimulus pada tahun depan secara bertahap.
Kabar tersebut sontak membuat seluruh negara berkembang mengalami guncangan hebat di pasar keuangan. Di mana nilai tukar mata uang jeblok, yield naik tinggi, pasar saham merah. Tak hanya Indonesia, kondisi serupa juga terjadi di negara yang membukukan defisit transaksi berjalan seperti Indonesia, Afrika Selatan, Brasil, India dan sebagainya.
"Yang berat itu di Mei-Juni lalu, saat isu tapering off mengemuka apakah akan dilakukan Desember 2013 atau tahun depan. Tapi kami menyikapinya secara proporsional," tambahnya.
Kebijakan pemerintah dan BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan menekan defisit transaksi berjalan tanpa melupakan prinsip prudent (kehati-hatian), telah membuat pasar menyikapinya dengan baik. Imbasnya, volatilitas rupiah terhadap dolar AS bisa kembali terkendali.
"Isunya memang bukan masalah tapering off saja, jadi walaupun masih agak berat tapi pasar sudah mulaiadjust. Kalau fundamental kuat, nilai tukar akan mengikuti," terangnya.
BI, menurut Solikin menyiapkan bauran kebijakan yang menjadi instrumen untuk menghadapi kemungkinan terjadinya tapering off dari AS. Upaya itu meliputi, mengelola nilai tukar sesuai fundamental dan menjaga pergerakannya secara konsisten.
"Selain itu, kami berupaya menjaga makro ekonomi Indonesia tanpa membiarkan tingginya volatalitas rupiah oleh tekanan-tekanan pasar. Kami juga mengontrol serta memilah aliran modal yang mendukung finansing di dalam negeri," ujarnya.
Kebijakan lain, kata Solikin, terkait makro prudential untuk mengelola likuditas kredit maupun menjalin koodinasi antara BI dan pemerintah.(Fik/Shd)

Kamis, 14 November 2013

BI: Pengetatan Modal Perbankan Tak Ganggu Penyaluran Kredit

Langkah lembaga perbankan untuk melakukan ekspansi pada perusahaan non-bank tampaknya harus terhenti. Meski demikian, Bank Indonesia (BI) menilai ketentuan itu tidak mengganggu fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi.
Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan soal penyertaan modal perbankan yang hanya mengizinkan bank untuk melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Kebijakan BI ini tertuang dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 15/11/PBI/2013 tentang prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal yang mulai berlaku sejak 22 November 2013.
Direktur Kepala Grup Penelitian dan Pengaturan Bank Umum Bank Indonesia (BI), Trisnawati Gani mengatakan, meskipun adanya peraturan ini, namun penyertaan modal bank ke perusahaan keuangan diyakini tidak akan mengganggu dan mengurangi fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi.
"Dengan adanya ini tidak akan menghilangkan fungsi intermediasi pada bank, karena ada batasan-batasan dalam penyertaan modal bank," ujarnya saat media briefing di Gedung BI, Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2013).
Dia menjelaskan, peraturan PBI lama ada batas penyertaan modal oleh bank ke perusahaan keuangan sebesar 25% dan berlaku untuk semua bank sedangkan pada PBI yang baru ini, persentase penyertaan modal disesuaikan berdasarkan BUKU.
"PBI ini bukan mengatur hal baru, tetapi menyempurnakan PBI yang sebelumnya. Untuk PBI lama dicabut, karena perubahan pasal yang cukup banyak, di sini kita juga telah melakukan harmonisasi antara PBI baru dan PBI lama," tutur Trisnawati.
Trisnawati menyebutkan, untuk bank pada Bank Umum Kelompok Usaha/BUKU I, tidak boleh menyertakan modal, pada bank di kelompok BUKU II bisa melakukan penyertaan modal sebesar 15% dari modal bank. Pada BUKU III sebesar 25%, dan pada bank-bank yang berada pada kategori BUKU IV penyertaan modalnya maksimal 35% dari modal bank.
Selain itu, dari segi manajemen risiko konsolidasi, yang pada PBI lama belum diatur, sedang pada PBI telah diatur seperti penyertaan modal pada anak perusahaan tidak diperhitungkan sebagai penyediaan dana dalam BMPK serta peningkatan penyertaan modal (non cash) dan penyertaan modal yang berasal dari deviden daham pada perusahaan anak yang sama dikecualikan dari batas penyertaan modal.
Dia sendiri mengakui, kegiatan penyertaan modal ini memang merupakan salah satu kegiatan usaha bank, namun menurutnya hal tersebut bukan merupakan kegiatan utama yang menunjang fungsi bank sebagai lembaga intermediasi.
"Umumnya bank melakukan penyertaan modal untuk meningkatkan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan nasabah," tandasnya. (Dny/Ahm)