JAKARTA - Bank Indonesia memaparkan perbedaan-perbedaan
gejolak ekonomi pada 1998 dengan kondisi saat ini. Pasalnya, guncangan paling
dahsyat yang melanda perekonomian Indonesia terjadi pada saat krisis 1998.
"Waktu 1998, itu pada waktu pembalikan dana uang asing
BI dan pemerintah tidak punya statistik yang lengkap dari utang luar negeri.
Ternyata banyak utang luar negeri dan itu mentriger kita untuk semakin
panik," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah
di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (24/8/2013).
Difi mengatakan, saat itu BI harus melakukan intervensi
besar-besaran. Pasalnya nilai tukar Rupiah saat itu telah dipatok di angka
tertentu oleh pemerintah.
Sementara pada 2008, yang diakibatkan krisis subprime
mortgage di Amerika Serikat (AS), dimana kredit perumahan di AS diberikan
kepada debitur-debitur yang memiliki portofolio kredit yang buruk.
"2008, itu subprime di AS, enggak adil juga waktu itu
karena masalahnya di negara lain, tapi kita kena imbasnya. Jadi di kita
disebutnya krisis sektor keuangan," ujar Difi.
Difi mengatakan, saat 2008 kondisi perbankan Indonesia sudah
kuat, saat itu dikarenakan adanya Pekerjaan Rumah (PR) yang besar dari 1998
yaitu peningkatan sektor perbankan. Secara umum di 2008 dapat dikatakan
selamat.
Sedangkan saat 2013, lanjut Difi, pertumbuhan Ekonomi
Indonesia sedang melaju sangat cepat, namun di saat yang sama impor meningkat
sehingga meningkatkan defisit neraca berjalan.
"Sekarang, ekonomi tumbuh dengan baik. Ekonomi tumbuh
dari konsumsi domestik. Cuma memang pak Darmin (mantan Gubernur BI Darmin
Nasution) bilang, setiap tumbuh 6 persen impor kita naik," jelas Difi.
Peningkatan Impor tersebut diiringi dengan
ekspor yang melambat, memicu defisit neraca berjalan semakin melebar. Oleh
karena itu BI meminta pengusaha terutama Importir untuk lebih hati-hati karena
fluktuatifnya pertumbuhan ekonomi. "Pertumbuhan ekonomi kan naik turun,
kita tidak mau saat turun itu hard landing, kita mau soft landing," ujar
Difi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar