Blogger Cursor by Tutorial Blogspot

Welcome to my Blog

Kamis, 10 Oktober 2013

Buah Simalakama Bank Indonesia

Pelemahan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini sebagai imbas krisis likuiditas global, yang memaksa penarikan modal asing keluar, tentu akan menciptakan instabilitas bagi sistem keuangan dan manajemen moneter Bank Indonesia. Dalam hal ini Bank Indonesia dihadapkan pada kenyataan untuk menelan pil pahit “buah simalakama”, bahwa intervensi untuk menyelematkan nilai tukar rupiah sudah pasti akan berimplikasi pada efektivitas target moneter Bank Indonesia.
Dalam teori IT (Inflation Targeting) dan konsep “Impossible Trinity” bahwa di era mobilitas modal yang tinggi maka pilihan target moneter adalah: Monetary freedom atau Exchange rate Freedom. Dengan kata lain, Bank Sentral hanya bisa memilih apakah ia ingin mencapai target moneter yang diinginkan (IT misalnya) ataukah ia ingin mencapai target nilai tukar yang diinginkan. Dalam konteks ini, Bank Sentral hanya bisa memilih salah satu dari pilihan tersebut.
Keadaan krisis keuangan global saat ini, yang diperparah dengan krisis likuiditas global, memaksa Bank Sentral untuk secara aktif melakukkan intervensi rupiah. Dalam hal ini Bank Sentral bisa melakukkan intervensi dengan beberapa kebijakan strategis, antara lain: intervensi rupiah di pasar valas dan menaikkan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Keduanya diarahkan untuk memanipulasi sisi permintaan dan penawaran rupiah dipasar, serta menarik aliran modal masuk ke tanah air.
Secara moneter, intervensi valas untuk memperkuat rupiah dilakukkan dengan menggelontorkan cadangan US dollar bank sentral, dan menukarkannya dengan rupiah. Namun tentu saja tindakan ini tidak akan efektif bisa dilakukkan pemerintah karena beberapa faktor. 
  • Pertama, Bank Sentral manapun didunia ini tidak akan mampu menangkal atau menyediakan kebutuhan valas pasar di saat krisis. Hal ini berbeda jika keadaan pasar adalah normal, karena jika kondisi yang terjadi adalah normal maka kebutuhan pasar akan valas akan mudah sekali dipenuhi oleh Bank Sentral. Jika yang terjadi adalah kepanikkan, dan dilakukkan oleh sebagian besar bahkan seluruh pelaku pasar, maka kebutuhan akan valas akan sangat sulit sekali dipenuhi oleh Bank sentral dengan alasan cadangan devisa yang terbatas. Dalam konteks ini, maka “bermain-main” dengan pasar akan sama saja dengan bunuh diri, yang oleh Paul Krugman diprediksi akan mengalami Krisis “Balance of Payment”.
  • Kedua, kebijakan intervensi valas dengan menjual US $ dan membeli Rupiah  sudah pasti akan mempengaruhi base money atau uang inti dalam masyarakat. Dalam konteks ini, akan terjadi kekeringan uang inti di masyarakat sehingga menimbulkan efek kenaikkan suku bunga pasar. Dengan kenaikkan suku bunga pasar bisa diprediksi bahwa efek domino terhadap dunia usaha pasti akan berjalan dengan mulus, sehingga pada akhirnya dapat menjadi bumerang sendiri bagi sistem keuangan dan sektor perbankan.


Dalam konteks ini, Bank Indonesia diharapkan secara cepat dan strategis melakukkan intervensi yang sifatnya non-pasar. Atau dengan kata lain, Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan dapat melakukkan kebijakan strategis terkait dengan keharusan transaksi-transaksi ekonomi domestik (baik pihak asing maupun domestik), untuk melakukkan pembayaran dengan rupiah. Sederhana saja, pemerintah dan Bank sentral harus dapat secara proaktif melakukkan  himbauan dan peraturan untuk mewajibkan para pelaku ekonomi domestik dan asing menciptakan kekuatan baru dari sisi permintaan rupiah. Hal ini tentunya harus dapat difahami dan disosialiasikan dengan baik oleh pemerintah dan Bank Indonesia, agar respon pelaku ekonomi dapat menguatkan posisi rupiah terhadap US$ minimal kembali pada posisi keseimbangannya.]
Akhir kata, penggunaan US Dollar di seluruh sendi-sendi perdagangan dan lalu lintas pembayaran dunia memang sangatlah tinggi. Sehinga kekuatan untuk mengimbangi permintaan US dollar yang tinggi harus dilawan dengan kekuatan permintaan rupiah yang tinggi pula, minimal bagi kebutuhan transaksi ekonomi domestik.
Ketakutan terhadap melemahnya nilai tukar yang sangat tinggi, sangat disebabkan oleh lemahnya fundamental ekonomi domestik dan kinerja ekspor yang mandul. Namun ketakutan ini berbeda dengan kondisi sebelum krisis, yang disebabkan karena tingginya pinjaman luar negri yang tak terlindungi (unhedged foreign debt). Namun kita perlu waspada dengan bahaya pelemahan nilai tukar rupiah ini, karena tentu saja dapat mengancam tingginya imported inflation dan kelesuan aktivitas ekonomi khususnya yang disebabkan karena mahalnya raw material atau bahan baku sehingga menyebabkan biaya ekonomi yang tinggi.
  • Terakhir, intervensi pasar Bank Indonesia untuk meredam depresiasi nilai tukar rupiah sudah jelas tidak efektif dilakukkan oleh Bank Indonesia. Jika ini diteruskan maka, selain cadangan US$ BI akan menipis, efek terhadap base money juga akan berakibat fatal terhadap suku bunga. Oleh karena itu, perlu kebijakan strategis pemerintah dan BI untuk memperkuat sisi permintaan rupiah dengan mendorong penggunaan rupiah dalam transaksi ekonomi domestik dengan luar negri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar