Pelemahan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini
sebagai imbas krisis likuiditas global, yang memaksa penarikan modal asing
keluar, tentu akan menciptakan instabilitas bagi sistem keuangan dan manajemen
moneter Bank Indonesia. Dalam hal ini Bank Indonesia dihadapkan pada kenyataan
untuk menelan pil pahit “buah simalakama”, bahwa intervensi untuk menyelematkan
nilai tukar rupiah sudah pasti akan berimplikasi pada efektivitas target
moneter Bank Indonesia.
Dalam teori IT (Inflation Targeting) dan konsep
“Impossible Trinity” bahwa di era mobilitas modal yang tinggi maka pilihan
target moneter adalah: Monetary freedom atau Exchange rate Freedom. Dengan kata
lain, Bank Sentral hanya bisa memilih apakah ia ingin mencapai target moneter
yang diinginkan (IT misalnya) ataukah ia ingin mencapai target nilai tukar yang
diinginkan. Dalam konteks ini, Bank Sentral hanya bisa memilih salah satu dari
pilihan tersebut.
Keadaan krisis keuangan global saat ini, yang
diperparah dengan krisis likuiditas global, memaksa Bank Sentral untuk secara
aktif melakukkan intervensi rupiah. Dalam hal ini Bank Sentral bisa melakukkan
intervensi dengan beberapa kebijakan strategis, antara lain: intervensi rupiah
di pasar valas dan menaikkan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia).
Keduanya diarahkan untuk memanipulasi sisi permintaan dan penawaran rupiah
dipasar, serta menarik aliran modal masuk ke tanah air.
Secara moneter, intervensi valas untuk memperkuat
rupiah dilakukkan dengan menggelontorkan cadangan US dollar bank sentral, dan
menukarkannya dengan rupiah. Namun tentu saja tindakan ini tidak akan efektif
bisa dilakukkan pemerintah karena beberapa faktor.
- Pertama, Bank Sentral manapun didunia ini tidak akan mampu menangkal atau menyediakan kebutuhan valas pasar di saat krisis. Hal ini berbeda jika keadaan pasar adalah normal, karena jika kondisi yang terjadi adalah normal maka kebutuhan pasar akan valas akan mudah sekali dipenuhi oleh Bank Sentral. Jika yang terjadi adalah kepanikkan, dan dilakukkan oleh sebagian besar bahkan seluruh pelaku pasar, maka kebutuhan akan valas akan sangat sulit sekali dipenuhi oleh Bank sentral dengan alasan cadangan devisa yang terbatas. Dalam konteks ini, maka “bermain-main” dengan pasar akan sama saja dengan bunuh diri, yang oleh Paul Krugman diprediksi akan mengalami Krisis “Balance of Payment”.
- Kedua, kebijakan intervensi valas dengan menjual US $ dan membeli Rupiah sudah pasti akan mempengaruhi base money atau uang inti dalam masyarakat. Dalam konteks ini, akan terjadi kekeringan uang inti di masyarakat sehingga menimbulkan efek kenaikkan suku bunga pasar. Dengan kenaikkan suku bunga pasar bisa diprediksi bahwa efek domino terhadap dunia usaha pasti akan berjalan dengan mulus, sehingga pada akhirnya dapat menjadi bumerang sendiri bagi sistem keuangan dan sektor perbankan.
Dalam konteks ini, Bank Indonesia diharapkan
secara cepat dan strategis melakukkan intervensi yang sifatnya non-pasar. Atau
dengan kata lain, Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan dapat melakukkan
kebijakan strategis terkait dengan keharusan transaksi-transaksi ekonomi
domestik (baik pihak asing maupun domestik), untuk melakukkan pembayaran dengan
rupiah. Sederhana saja, pemerintah dan Bank sentral harus dapat secara proaktif
melakukkan himbauan dan peraturan untuk
mewajibkan para pelaku ekonomi domestik dan asing menciptakan kekuatan baru
dari sisi permintaan rupiah. Hal ini tentunya harus dapat difahami dan
disosialiasikan dengan baik oleh pemerintah dan Bank Indonesia, agar respon
pelaku ekonomi dapat menguatkan posisi rupiah terhadap US$ minimal kembali pada
posisi keseimbangannya.]
Akhir kata, penggunaan US Dollar di seluruh
sendi-sendi perdagangan dan lalu lintas pembayaran dunia memang sangatlah
tinggi. Sehinga kekuatan untuk mengimbangi permintaan US dollar yang tinggi
harus dilawan dengan kekuatan permintaan rupiah yang tinggi pula, minimal bagi
kebutuhan transaksi ekonomi domestik.
Ketakutan terhadap melemahnya nilai tukar yang
sangat tinggi, sangat disebabkan oleh lemahnya fundamental ekonomi domestik dan
kinerja ekspor yang mandul. Namun ketakutan ini berbeda dengan kondisi sebelum
krisis, yang disebabkan karena tingginya pinjaman luar negri yang tak
terlindungi (unhedged foreign debt). Namun kita perlu waspada dengan bahaya
pelemahan nilai tukar rupiah ini, karena tentu saja dapat mengancam tingginya
imported inflation dan kelesuan aktivitas ekonomi khususnya yang disebabkan
karena mahalnya raw material atau bahan baku sehingga menyebabkan biaya ekonomi
yang tinggi.
- Terakhir, intervensi pasar Bank Indonesia untuk meredam depresiasi nilai tukar rupiah sudah jelas tidak efektif dilakukkan oleh Bank Indonesia. Jika ini diteruskan maka, selain cadangan US$ BI akan menipis, efek terhadap base money juga akan berakibat fatal terhadap suku bunga. Oleh karena itu, perlu kebijakan strategis pemerintah dan BI untuk memperkuat sisi permintaan rupiah dengan mendorong penggunaan rupiah dalam transaksi ekonomi domestik dengan luar negri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar