Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), pada salah satu
pasalnya disebutkan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen. Maksud
kalimat tersebut adalah Independen diartikan sebagai lembaga negara yang bebas
dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lainnya. Selanjutnya, dalam Pasal
9 dinyatakan bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan
terhadap pelaksanaan tugas BI, dan demikian pula BI wajib menolak atau
mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka
melaksanakan tugasnya. Independensi tersebut ditandai dengan diberikannya
kewenangan penuh pada BI dalam menetapkan target-target yang akan dicapai (goal
independence) dan kebebasan dalam menggunakan berbagai piranti moneter
(instrument independence) dalam mencapai target tersebut. Selanjutnya, dalam
Pasal 10 ditegaskan bahwa BI memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan
moneter melalui penetapan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju
inflasi. Demikian pula, untuk lebih meningkatkan efektivitas pengendalian
moneter serta kapasitasnya sebagai lender of the last resort, dalam Pasal 11
dinyatakan bahwa pemberian kredit oleh BI kepada bank dibatasi.
Jangka waktu kredit kepada bank
maksimal 90 hari dan penggunaannya hanya untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek. Selain itu, kredit tersebut harus dijamin dengan surat berharga
yang bernilai tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah
kredit atau pembiayaan yang diterima oleh bank.
Tujuan dan tugas BI saat ini
sesuai dengan undang-undang baru tersebut adalah tujuan BI adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut BI mempunyai
3 tugas utama, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank.
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut, BI
berwenang menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju
inflasi yang ditetapkan. Perlu dikemukakan bahwa tugas pokok BI berubah sejak
diterapkannya undang-undang tersebut, yaitu dari multiple objective (mendorong
pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memelihara kestabilan
nilai rupiah) menjadi single objective (mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah). Dengan demikian tingkat keberhasilan BI akan lebih mudah diukur
dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Yang dimaksud dengan kestabilan
nilai rupiah adalah kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan
nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga
barang-barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi
menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan
dari sisi penawaran. Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan
tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi
tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu,
untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil,
diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik
pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat
inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan. Selanjutnya
nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran
yang terjadi di pasar. Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar
nilai rupiah tidak terlalu berfluktuasi secara tajam.
BI mengontrol tingkat inflasi
dengan cara Seperti dikemukakan diatas bahwa kontrol BI atas inflasi sangat
terbatas, karena inflasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, BI
selalu melakukan assessment terhadap perkembangan perekonomian, khususnya
terhadap kemungkinan tekanan inflasi. Selanjutnya respon kebijakan moneter
didasarkan kepada hasil assessment tersebut. Perlu disampaikan pula bahwa
pengendalian inflasi tidak bisa dilakukan hanya melalui kebijakan moneter,
melainkan juga kebijakan ekonomi makro lainnya seperti kebijakan fiskal dan
kebijakan di sektor riil. Untuk itulah koordinasi dan kerjasama antar lembaga
lintas sektoral sangatlah penting dalam menangani masalah inflasi ini.
Kebijakan moneter BI kedepan yang
lebih memfokuskan pada sasaran tunggal inflasi dilakukan dengan cara Sasaran
akhir kebijakan moneter BI di masa depan pada dasarnya lebih diarahkan untuk
menjaga inflasi. Pemilihan inflasi sebagai sasaran akhir ini sejalan pula
dengan kecenderungan perkembangan terakhir bank-bank sentral di dunia, dimana
banyak bank sentral yang beralih untuk lebih memfokuskan diri pada upaya
pengendalian inflasi. Alasan yang mendasari perubahan tersebut adalah, pertama,
bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter
hanya dapat mempengaruhi tingkat inflasi, kebijakan moneter tidak dapat
mempengaruhi variabel riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat
pengangguran. Kedua, pencapaian inflasi rendah merupakan prasyarat bagi
tercapainya sasaran makroekonomi lainnya, seperti pertumbuhan pada tingkat
kapasitas penuh (full employment) dan penyediaan lapangan kerja yang
seluas-luasnya. Ketiga, yang terpenting, penetapan tingkat inflasi rendah
sebagai tujuan akhir kebijakan moneter akan menjadi nominal anchor berbagai
kegiatan ekonomi.
Strategi yang digunakan oleh BI
dalam mencapai sasaran inflasi yang rendah adalah :
- Mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter.
- Menentukan sasaran akhir kebijakan moneter.
- Mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi.
- Memformulasikan respon kebijakan moneter.
Dapat ditambahkan bahwa laju
inflasi yang diperoleh dari indeks harga konsumen (IHK) sebagai sasaran akhir
dan laju inflasi inti (core atau underlying inflation) sebagai sasaran
operasional.
Konsep inflasi inti (core
inflation) dapat kita bagi menjadi dua yaitu Berdasarkan pengertiannya, ada 2
konsep dalam pengertian inflasi inti. Pertama, inflasi inti sebagai komponen
inflasi yang cenderung ‘menetap’ atau persisten (persistent component) di dalam
setiap pergerakan laju inflasi. Kedua, inflasi inti sebagai kecenderungan
perubahan harga-harga secara umum (generalized component). Core inflation pada
beberapa literatur disebut juga dengan underlying inflation. Inflasi inti
inilah yang dapat dipengaruhi atau dikendalikan oleh BI. Di dalam
operasionalnya, BI tidak menggunakan inflasi IHK sebagai acuan dalam mengambil
kebijakan moneter, namun menggunakan inflasi inti.
Penggunaan inflasi inti sebagai sasaran
operasional dikarenakan inflasi inti dapat memberikan signal yang tepat dalam
memformulasikan kebijakan moneter. Sebagai contoh, dalam hal terjadi gangguan
permintaan (demand shock) yang mengakibatkan inflasi tinggi, respon bank
sentral akan mengetatkan uang beredar sehingga tingkat inflasi dapat ditekan.
Disamping itu, kebijakan tersebut dapat juga untuk menyesuaikan kembali
pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang sesuai dengan kapasitas perekonomian.
Sebaliknya, jika inflasi meningkat karena terjadinya gangguan penurunan di sisi
penawaran (supply side), misalnya kenaikan harga makanan karena musim kering
maka kebijakan uang ketat justru dapat memperburuk tingkat harga dan
pertumbuhan ekonomi. Respon yang dapat dilakukan oleh bank sentral adalah kebijakan
melonggarkan likuiditas perkonomian justru diperlukan untuk menstimulir
peningkatan penawaran.
Inflasi yang akan dipakai BI dalam menetapkan
targetnya adalah BI menetapkan IHK sebagai targetnya, seperti yang diterapkan
di semua negara yang menganut sistem target inflasi secara eksplisit. Ada
beberapa alasan yang mendasari dipilihnya IHK sebagai target bank sentral, baik
dari sisi teoritis maupun dari segi kepraktisannya. Kelebihan digunakannya IHK
ini antara lain adalah merupakan alat ukur yang paling tepat dalam mengukur
tingkat kesejahteraan masyarakat karena IHK mengukur indeks biaya hidup
konsumen. Seperti yang berlaku pada negara-negara lain institusi yang bertugas
mengumpulkan data statistik selalu memfokuskan sebagian besar sumber dayanya
untuk menghasilkan data IHK yang reliable dibandingkan indeks harga lainnya,
sehingga hasil pengukuran IHK selalu memiliki kualitas yang lebih baik dan
selalu tersedia secara tepat waktu.
Tekanan terhadap angka inflasi
dapat dibagi dua Dilihat dari asalnya, tekanan inflasi dapat dibedakan atas
domestic pressures (berasal dari dalam negeri) dan external pressures (berasal
dari luar negeri). Tekanan yang berasal dari dalam negeri dapat diakibatkan
oleh adanya gangguan dari sisi penawaran dan permintaan serta kebijakan yang
diambil oleh instansi lain di luar BI, misalnya kebijakan penghapusan subsidi
pemerintah, kenaikan pajak, dll. Gangguan dari sisi penawaran dapat timbul
apabila terjadi musim kering yang mengakibatkan gagal panen, terjadinya bencana
alam, gangguan distribusi tidak lancar dan adanya kerusuhan-kerusuhan sosial
yang berakibat terputusnya pasokan dari luar daerah. Gangguan dari sisi
permintaan dapat terjadi apabila otoritas moneter menerapkan kebijakan uang
longgar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar